immbojonegoro.tk, Surabaya - Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi sejumlah pasal
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Adminduk) sehingga memperbolehkan penghayat kepercayaan
mencantumkan alirannya pada kolom agama di KTP, menuai pertanyaan besar
dari Muhammadiyah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai Otoritas
MK melebihi otoritas Tuhan. Menurutnya, MK sekarang ini menjadi
institusi yang paling berkuasa di Indonesia. Ia merasa khawatir akan ada
dampak besar di masa depan menyusul putusan MK tersebut.
Hal itu disampaikan Haedar saat gelaran refleksi Milad Muhammadiyah
ke-108 di Aula KH Mas Mansur, Kantor PWM Jatim, Jalan Kertomenanggal
IV/1 Surabaya, Sabtu (11/11/17).
“Kalau ada banyak hal genting baik yang menyangkut substansi dan materi
konstitusi, perundang-undangan, nasibnya ada di MK. Begitu juga nanti
dalam kemelut kekuasaan. Jika ada Presiden yang menyimpang, ada
tahapan-tahapan pada ahirnya nanti ada yang menentukan MK,” jelasnya
seperti dikutip dari laman resmi PWM Jatim, www.pwmu.co.
Haedar lalu membandingkan dengan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang pernah berkuasa di zaman Orde Baru yang sekarang hanya
menjadi lembaga ad hoc. “Pak Zulkifli Hasan yang jadi Ketua MPR tidak punya kekuasaan. Begitu juga anggotanya,” ujarnya.
Paradoksnya, lanjut Haedar, dulu kita cemas dengan 560 anggota MPR akan
berbuat konspirasi, tetapi kita tidak cemas pada sembilan orang, yang
punya kekuasaan melebihi Tuhan dalam menentukan sebuah kebijakan, karena
tidak dapat digugat.
“Kalau Allah itu Maha Pengampun. Bisa kita tawar. Ada rukshah segala.
MK ini tidak ada rukshah,” kata Haedar yang disambut tawa dan tepuk
tangan hadirin.
Bagi Haedar, MK tidak bisa bebas dari kepentingan. “Kami yang belajar
ilmu politik tahu persis,” ujarnya. Dia menjelaskan bahwa keputusan
sesorang tak lepas dari tafsir yang dimilikinya. “Kalau hakim tunggal,
ya tafsir hakim yang akan menentukan hitam putihnya keputusan,” katanya.
Selain soal tafsir, Haedar menjelaskan bahwa relasi antara hakim dan
latarbelakangnya sangat menetukan keputusan. “Relasi, kalau tidak
verbal, itu emosional dengan kekuatan lain. Kalau dia latar belakagnya
warna ini, maka warnanya ini,” kata Haedar memberi contoh.
Menurut Haedar, MK yang terdiri hanya dari sembilan orang, yang umumnya
berisi dari ahli-ahli hukum itu, keputusannya tidak lepas dari latar
belakangnya.
Keputusan MK soal dibolehkannya penulisan penganut Kepercayaan pada
Tuhan Yang Maha Esa pada kolom Agama pada KTP, tentu tak lepas dari
latar belakang para hakim.
Haedar meyanyangkan pejabat yang mengatakan bahwa agama-agama seperti
Islam, Kristen, Hindu, atau Budha sebagai agama impor di Indonesia.
Sementara yang dianggap asli Nusantara adalah Aliran Kepercayaan pada
Tuhan Yang Maha Esa.
Mmeutuskan hal-hal itu, menurut Haedar tidak cukup dengan pendekatan hukum melainkan harus pula menggunakan sosiologi agama.
“Supaya MK lebih cermat, hati-hati dan memahami persoalan dengan sosiologi hukum yang lebih konperehensif,” pesan Haedar.
Sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-12564-detail-soal-putusan-mk-tentang-aliran-kepercayaan-ketum-otoritas-mk-melebihi-otoritas-tuhan.html
0 Komentar