Oleh : *Dinil Abror Sulthani, M.Pd.I
IMMBOJONEGORO.OR.ID - Bagaiamana pendapat kita ketika mendengar sebuah ulasan tentang seorang mentor yang mengharuskan bagi peserta didiknya untuk membaca 1 buku setiap bulan, namun sang mentor sendiri tidak ada membaca buku sama sekali. Boleh juga dicontohkan, seorang pak guru SD menasihatkan kepada siswanya untuk selalu rutin shalat maghrib berjamaah di masjid, sedangkan ia sendiri lebih rajin shalat di rumah. Dua kasus tersebut unik namun masih ditemukan dalam masyarakat kita sekarang. Apa yang hilang dari fenomena tersebut? Tidak lain ialah ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan. Melupakan aspek keteladanan yang sangat penting dalam suatu pembelajaran.
Jangan pula kita mengambil kesimpulan; bahwa tidak perlu menasihati orang lain karena khawatir tidak menjalankannya, seorang paham agama enggan berdakwah karena takut ketidaksesuaian dengan prilaku diri, bahkan guru mogok mengajar karena khawatir tidak bisa mengimplementasikan semboyan diGUgu dan ditiRU. Jika memiliki persepsi demikian maka terhentilah semua peradaban ilmiah ini, tidak ada lagi yang mau menjadi mubaligh, lembaga pendidikan semuanya tutup, dan amanat Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi juga terhenti. Lalu untuk apalagi ada manusia hidup di dunia? Persepsi di atas kita nukilkan sebagai renungan bahwa manusia harus menjadi agen perubahan dan juga agen keteladanan.
Mengucapkan juga mempraktikkan, saling menasehati lalu berbuat dengan sepenuh hati. Artinya, perlu mengedepankan keteladanan, contoh atau bukti nyata atas kata-kata yang keluar melalui lisan dan tulisan. Setiap ia memberikan nasihat kepada orang lain, ia lebih dahulu mempraktikknya. Misalkan, seorang dosen sebelumnya tidak rutin membaca 1 buku setiap bulan, lalu di kelas ia menyampaikan himbauan kepada mahasiswanya untuk memulai membaca buku karena banyak faedahnya. Lalu sikap dosen itu meniatkan pada dirinya memulai bersama-sama mahasiswanya merutinkan membaca buku. Dengan begitu, dosen tersebut akan terhindar dari ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan, bahkan ia dapat dikategorikan sebagai dosen teladan. Yakni, meneladankan ucapannya (himbauannya) untuk diri sendiri dan orang lain.
Teladan dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk menerapkan kebaikan bagi diri sendiri karena Allah. Manusia yang hidup dengan keteladanan bagaikan mutiara yang selalu memberikan rasa kagum bagi yang memandangnya. Begitulah sosok kepribadian Nabi Muhammad Saw, seorang manusia yang penuh dengan keteladanan, kepribadian yang menarik hati, akhlak mulia penyejuk hati. Orang disekelilingnya selalu senang didekatnya, selalu meminta nasihatnya, dan selalu memberikan pertolongan baginya. Namun, ia berkepribadian mulia, ia melakukan itu adalah karena Allah. Oleh karena itu, menjadi manusia yang memiliki keteladanan adalah ibadah, sebab ia akan beroleh kebaikan dan juga sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw.
*Penulis adalah Mahasiswa S3 di Marmara Univercity - Turkey
Sumber : www.turki.muhammadiyah.or.id
0 Komentar