IMMBOJONEGORO.OR.ID - Hadirnya media sosial elektronik yang cukup masif penggunaannya di Indonesia, telah menyajikan berbagai pernak pernik dunia visual ditengah masyarakat, kamera yang ditambah dengan koneksi internet seolah telah menjadi obyek sentral sebagai kebutuhan primer dalam hajat kehidupan manusia modern. Dikaui atau tidak, perkakas kamera saat ini tidak lagi menjadi fungsi formal dalam mengabadikan moment yang bersejarah, arsip negara, arsip pendidikan, dan lain sebagainya. Kamera telah menjadi keharuspunyaan pribadi dalam genggaman smartphone, kamera tidak hanya menjadi kebutuhan hidup, tetapi juga telah menjadi gaya hidup yang sangat menjamur di berbagai lini dan usia pada masyarakat.
Kamera sebagai gaya hidup tersebut, menyajikan suatu fenomena menarik untuk kita ulas disini, beragam bentuk momen kehidupan telah kita mudah dapati dalam media sosial secara liar, momen wisata, momen belanja, momen pribadi sepasang muda-mudi, sepasang suami-istri, serta sampai pada upaya mengekspose diri sendiri atau biasa disebut dengan budaya selfie dan sebagainya. Menunjukkan ekspresi bahagia, ekspresi sedih, sampai pada kesimpulan kebahagian dan kesedihan tersebut, seolah telah terwakilkan dalam bingakai jepretan kamera dan caption yang mengiringi. Lantas apa sekarang korelasinya budaya mengekspose diri tersebut dengan pendidikan modern?
Pembaca yang budiman, telah terdapat suatu singgungan yang cukup menarik dari seorang ilmuan sosial yang telah gigih memeperkenalkan suatu teorinya yang disebut dengan teori wacana, apa itu wacana? Wacana adalah suatu pemikiran atau tindakan yang dibumbui oleh suatu pengetahuan. Jika kita ingin mengetahui tindakan, sikap atau pemikiran suatu masyarakat atau kelompok, kita terlebih awal harus membongkar suatu pengetahuan yang menyelimuti masyarakat tersebut (baca: Faucoult). Sehingga mengkritik pokok soal modernisme, tentu akhirnya kita harus membongkar wacana apa yang ditawarkan oleh rezim modernisme tersebut. kata modern adalah arti daripada sifat kekinian, sedangkan kata isme adalah berarti suatu paham, sehingga kata modernisme adalah percampuran dari dua suku kata tersebut, ialah paham kekinian. Sedangkan secara sifat, modernisme adalah suatu antitasa daripada suatu abad tengah atau kegelapan, modernisme adalah suatu anak kandung dari abad yang disebut sebagai abad pencarahan, abad aktifnya kembali daya rasio manusia, daya akal manusia, abad yang mencaci hukum leluhur, mengoyah hukum mistis dan pegkultusan, segala kebenaran harus diuji dengan hukum rasional dan hukum kenyataan.
Dari sinilah kita ketahui bahwa dalam masyarakat modern, telah dapat suatu cara pandang baru dalam kehidupan abad manusia, rezim mistis telah berubah menjadi rezim kepastian, rezim nalar dan akal sehat. Namun taukah pembaca yang budiman, dimanakah celahnya rezim kepastian (abad modern) ini? Dalam memberlakukan hukum rasional dan kenyataan tersebut, abad modern menyebutnya dengan sutau hukum yang dinamai sebagai hukum positivisme. Positivisme inilah yang akhirnya menjadi suatu soal yang kita bongkar kedok bobroknya. Bagaimana tidak, atasnama ilmu positivis inilah yang akhirnya menjadikan momok pengkultusan baru, gaya pandang kebenaran tunggal baru (globalisme), kerendahan seketika bisa ditinggikan, kebenaran sekatika bisa saja menjadi salah, gedung-gedung dibangun menjulang-julang, rumah kehidupan terhimpit-himpit minggir, kegelapan bisa seketika menjadi terang sekaligus berwarna, lampu-lampu kota menyembunyikan jerit lelah pekerja yang menggerus jalan, jalan menjadi kehidupan, rumah-rumah ditumbuhi alang-alang kelelahan. Negara mengejar kemajuan, pembangunan dilancarkan pada rumus positivis tersebut, dari tahun ke tahun, berapa kali berganti kepemimpinan Negara dengan jargon kemajuan, cita-cita setiap Negara seolah tiada baik jika tidak menjadi Negara industri dan pariwisata (cara pandang kebenaran tunggal). Sedangkan apa yang diharapkan dari Negara industri dan pariwisata, selain akan mengoyak masyarakatnya untuk menjadi masyarakat konsumeris dan perusak lingkungan hidup yang tamak.
Walhasil, begitu pula dalam dunia pendidikan, fakultas-fakultas menyimpan berbagai jurusan yang beragam, jurusan tersebut juga menawarkan berbagai profil yang seolah menjadi hukum kepastian (kebenaran tunggal), jurusan guru, jurusan teknik, jurusan sosial, jurusan ekonomi dan lain sebagainya. Sebelum menyelami dunia pendidikan tersebut, dikepala terpelajar sudah tergambar hasil akhir dari jurusan tersebut, sebagai guru, sebagai ekonom, sebagai pegawai bank, memakai dasi jas dan sepatu bersilau. Namun kenyataan telah menampakkan kondisi lain, angan-angan rezim kepastian tersebut ternyata membentur kenyataan, pengangguran hasil pendidikan tersebut justru semakin membeludak, seolah tidak ada yang bisa untuk dikerjakan selepas sekolah telah usai, selain mengharap perusahaan memanggilnya menjadi mesin penghisap monopoli ekonomi dan Negara memanggilnya untuk memakai barisan seragam pegawai negeri. Itulah ilustrasi budaya narsisme dan pendidikan di Indonesia, pendidikan samapai sekarang tidaklah meberi fokus pada asiknya pencaharian ilmu pengetahun, tetapi justru selalu menjebak para murid pada ilusi-ilusi gambar, tentang hasilnya akan menjadi profesi A,B,C,D yang ilutif, bukan prosesnya (sebagai calon-calon ilmuan).
Sebagai analogi yang sederhana, murid-murid di Indonesia kebanyakan masih menganggap penting foto daripada peta, jika kita ingin melakukan perjalanan, manakah yang menjadi penting antara foto dan peta tersebut? peta perjalanan akan memudahkan kita menemukan jalan menuju lokasi yang dituju, namun jika hanya foto lokasi yang kita punya, kita bisa tersesat pada pencarian jalan menuju lokasi tersebut, sampailah habis waktu dan usia kita. Sehingga semakin semarak dunia perfotoan di dunia maya dan di mall-mall kota besar, begitulah nasip pendidikan di Indonesia, sebagai ajang narsisme yang ilutif, bangga menganakan pakaian dan properti menjadi superman dan superhero lainnya, tanpa mengerti dan peduli peta kemana kehidupan akan berjalan dan dikandalikan, tanpa berfikir bagaimana anak cucu kita akan hidup dihari depan, dibalik berbagai kerusakan lingkungan hidup karena pembangunan. Kehidupan ini bukan pasar malam, manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun kembali pulang. Begitulah tokoh sastrawan humanis Pramoedya Ananta Toer telah menuturkan. Dan tokoh Foucoult seorang ilmuan barat yang gigih mengkritik budaya masyarakatnya sendiri telah menuturkan, bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang terobsesi pada tubuh. Dan masuarakat yang terobsesi pada tubuh, baginya kehidupan yang baik dan bahagia itu tidak ada kaitannya dengan kepemilikan pengetahuan dan keyakinan spiritual. Selain kepemilikan fisik dan materi. Bagitulah kita perlu prihatin dalam melihat masifnya masyarakat narsis yang terjadi di generasi muda bangsa Indonesia ini. Semoga bermanfaat!!
Oleh : Milada Romadhoni Ahmad, S.Sos
(Kader Hijau Muhammadiyah)
0 Komentar