Oleh Ma'mun Murod Al-Barbasy (Wakil Dekan I FISIP UMJ)
Membaca Disertasi Alwi Shihab atau literatur lainnya yang membahas
tentang KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, maka akan didapati bahwa
Kiai Dahlan adalah sosok yang sangat peduli terhadap pendidikan agama
Islam, terutama di sekolah-sekolah dan sangat serius untuk memutus
dikotomi ilmu antara ilmu umum (ulumuddunya) dan ilmu agama (ulumuddin
untuk kemudian mengintegrasikannya).
Pertama, sebagai bentuk kepeduliannya, Kiai Dahlan "rela" masuk menjadi
anggota Boedi Oetomo, dengan maksud hanya ingin memberikan "roh agama"
di tubuh Boedi Oetomo dan juga agar pendidikan agama Islam dapat masuk
menjadi pelajaran resmi di sekolah-sekolah Boedi Oetomo.
Niatan baik Kiai Dahlan disambut positif oleh Boedi Oetomo. Perjuangan
Kiai Dahlan tentu bukan perkara mudah. Bahwa kemudian pelajaran agama
bisa masuk di sekolah-sekolah Boedi Oetomo semata karena keikhlasan dan
keuletan Kiai Dahlan.
Perjuangan Kiai Dahlan untuk "menembus" Boedi Oetomo terbilang lebih
mudah ketimbang perjuangannya untuk masuk ke Taman Siswa. Terjadi
penentangan yang luar biasa. Sebagaimana ditulis Alwi Shihab, salah satu
penentang masuknya pelajaran agama di sekolah Taman Siswa adalah
Radjiman Wedyodiningrat yang kita kenal pernah menjadi Ketua BPUPK(I).
Karakter kuat Kejawen (Abangan) di tubuh Taman Siswa sepertinya
menjadikannya begitu alergi dengan pendidikan Islam.
Kedua, begitu seriusnya untuk memajukan pendidikan Islam yang saat itu
sangat terbelakang. Cara yang dilakukan Kiai Dahlan adalah dengan
memutus dikotomi ulumuddunya dan ulumuddin untuk
kemudian mengintegrasikannya, sesuatu yang saat itu tentu sangat asing
(gharib) dan melawan "kemapanan" model pendidikan saat itu. Sangat
revolusioner dan fundamental.
Untuk diketahui bahwa konteks saat itu pendidikan di Nusantara hanya
ada dua model, yaitu model pesantren yang murni mengajarkan ulumuddin. Ulumuddin pun sangat fiqh minded, dan fiqihnya juga sebatas fiqh thaharah, jinabat, jinayat, salat, puasa, haji, faraid, ilmu alat (nahwu), sharaf, mantiq, balaghah, bai' (jual beli).
Sementara perspektif Islam tentang ilmu-ilmu eksakta, kedokteran
(sempat menjadi kebanggaan dalam sejarah peradaban Islam), sosiologi,
filsafat, praktis tidak diajarkan dan bahkan disebutnya sebagai "ilmu
kafir". Sementara di sisi lain ada pendidikan model Boedi Oetomo dan
Taman Siswa yang sepenuhnya mengajarkan ulumuddunya. Sangat sekuler. Pendidikan agama hanya dipandang sebelah mata dan diposisikan sebagai urusan privat.
Model pendidikan yang ditawarkan Kiai Dahlan sangat berkemajuan. Bukan
hanya terkait integrasi keilmuan, tapi model pembelajarannya pun
mengoreksi kemapanan pendidikan model pesantren yang berbentuk sorogan
dan bandongan. Kedua model pembelajaran ini dilakukan dalam bentuk
lesehan.
Kiai Dahlan menawarkan model pembelajaran dengan meja dan kursi yang
saat itu dilakukan di sekolah-sekolah "kafir" milik Belanda.
Namun kepedulian dan pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan ini berbuah pengkafiran, tentu dengan dalil man tasabbaha bi kaumin fahuwa minhum.
Kiai Dahlan dituduh kafir oleh ulama-ulama tradisi saat itu hanya
karena meniru model pendidikan Belanda. Kiai Dahlan juga dituduh sesat
hanya karena meluruskan arah kiblat dari menghadap ke barat menjadi ke
arah Ka'bah.
Padahal apa yang dilakukan Kiai Dahlan justru mencoba mengamalkan salah
satu qaidah ushul yang sangat dikenal di kalangan ulama tradisi: almuhafadzatu alal qadimisshalih wal ahdu bil jadidil aslah,
mencoba untuk mempertahankan hal lama yang baik berupa pendidikan agama
model pesantren dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik dengan
cara mengkombinasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, sesuatu
yang sejalan dengan Islam.
Untuk sebuah pembaruan pendidikan di Nusantara, Kiai Dahlan rela untuk
tidak populer, rela dikafir-kafirkan, rela dikucilkan dalam pergaulan
antarkiai. Kiai Dahlan bukan tipe kiai yang pro pada kemapanan, bukan
tipe kiai yang suka cari selamat. Kiai yang tidak gemar melakukan
pencitraan.
Sekarang buah pengorbanan dan pembaruan pendidikan yang dilakukan Kiai
Dahlan telah dinikmati semua anak bangsa. Model pendidikan SD, SMP, SMA,
Perguruan Tinggi umum yang di dalamnya ada mata pelajaran atau mata
kuliah pendidikan agama adalah buah jerih payah perjuangan Kiai Dahlan.
Begitu pun pendidikan sejenis MI, MTs, MAN dan PT Islam, semua berkat
jasa Kiai Dahlan yang mula pertama membuka sekolah dengan mensintesiskan
dua model pendidikan yang ada saat itu: model Boedi Oetomo dan model
pesantren.
Saat ini Indoneaia tengah mengalami kegaduhan lantaran lontaran
kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy terkait dengan Lima Hari Sekolah.
Terjadi penolakan secara keras yang dilakukan oleh PBNU dan faksi NU
atau pesantren yang segaris dengan PBNU. Sekadar diketahui banyak juga
pesantren atau pribadi elit NU yang tidak segaris dengan PBNU sebagai
dampak Muktamar Jombang. Bahkan tidak sedikit yang masih menganggap
bahwa PBNU hasil Muktamar Jombang illegal. PBNU menolak kebijakan Lima
Hari Sekolah dengan prinsip "pokoknya": pokoknya ditolak. Argumen apapun
untuk menjelaskan bahwa Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tak akan
menggerus Madin, tapi malah sebaliknya akan memperkuat Madin ditolaknya.
Namanya juga pola pikir "pokoknya" yang cenderung irasional.
Kalau merujuk pada kasus Kiai Dahlan ada kemiripan kasus yang menimpa
Mendikbud saat ini. Tawaran kebijakan Mendikbud sebenarnya tidak terlalu
istimewa. Kebijakan Lima Hari Sekolah telah banyak diterapkan di banyak
sekolah, baik dalam bentuk full day school maupun boarding school.
Yang saya salut justru "keberanian" Mendikbud untuk menerapkan Lima
Hari Sekolah secara nasional, meski tetap dengan opsional. Artinya tidak
dengan pemaksaan atau keharusan, bergantung kesiapan sekolah,
masyarakat bersangkutan, termasuk kesiapan Madin dan institusi lain yang
akan ter(di)libat(kan) dalam proses pendidikan karakter dalam kerangka
kebijakan Lima Hari Sekolah.
Kalau bukan karena "keberanian" untuk melakukan pembaruan pendidikan,
Mendikbud pasti tidak akan membuat kebijakan yang tidak populer.
Kebijakan Lima Hari Sekolah selain dimaksudkan untuk menyelaraskan
dengan kebijakan lima hari kerja dan penguatan pendidikan karakter, saya
juga membaca bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk melakukan percepatan
mutu pendidikan sebagaimana sebelumnya sudah banyak dilakukan oleh
lembaga pendidikan secara mandiri tanpa topangan pembiayaan dari negara
dalam menerapkan kebijakan Lima Hari Sekolah dalam bentuk full day
school atau boarding school, karenanya wajar kalau pembiayaan yang mesti
ditanggung orang tua murid menjadi mahal dan bahkan sangat mahal.
Mahalnya biaya di sekolah yang menerapkan Lima Hari Sekolah hampir pasti
dibarengi juga dengan prestasi yang baik. Bandingkan dengan SD Negeri
di banyak daerah yang mutunya jauh dari menggembirakan.
Nah, Mendikbud tampaknya mencoba menarik pengalaman dari
sekolah-sekolah "mahal" tersebut menjadi kebijakan nasional. Hanya yang
membedakan, bila "sekolah mahal" tersebut dijalankan secara mandiri,
maka kebijakan Mendikbud dijalankan oleh Pemerintah yang konsekuensi
pembiayaannya juga tentu akan lebih banyak ditanggung oleh negara. Kalau
kebijakan ini dikaitkan juga alokasi 20% anggaran untuk pendidikan,
maka kebijakan Mendikbud ini juga sejalan dengan Konstitusi kita.
Perbedaan lainnya, bila sekolah yang sudah menerapkan kebijakan Lima
Hari Sekolah tanpa melibatkan instansi lain, maka konsep kebijakan
Mendikbud sedikit berbeda, yaitu dengan tetap melibatkan institusi
pendidikan lain seperti Madin.
Mendikbud tentu sangat sadar bahwa dirinya tak mungkin tanpa melibatkan
Madin. Hanya mereka yang berpikiran jorok dan mempunyai ambisi politik
tertentu yang menuduh Mendikbud ingin memberangus Madin. Hal ini yang
tidak dipahami atau tidak mau paham, karena berangkat dari prinsip
"pokoknya": pokoknya ditolak.
Hanya pejabat yang mempunyai karakter untuk melakukan pembaruan yang
siap tidak populer, dibully, termasuk diteriaki untuk dibunuh.
0 Komentar