PENA-BOJONEGORO, IMMawati bagi penulis adalah sebuah gelar yang sangat terhormat. Karena tanpa melewati proses proses tertentu, seorang perempuan tak dapat dikatakan sebagai IMMawati. Ia adalah mahasiswi, dengan pemikiran yang hidup dan kalbu yang bersih. Ia mampu berislam dan sanggup mempelajari Islam dengan baik. Tanpa menyelingkuhi namanya, ia pun setidaknya bersedia berkontribusi pada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Pun, seorang mahasiswa urung disebut IMMawati bila belum mengikuti Darul Arqam Dasar (DAD). Satu setengah tahun lalu, penulis seringkali menginginkan di panggil “IMMawati” oleh kader IMM lain. namun, seberapapun lama penulis “nginthil” IMM tanpa mengikuti DAD, jangan harap sebutan IMMawati dipanggilkan untukmu.
Tapi tak mengapa, karena itu hanya urusan birokrasi per-IMMan. Selebihnya, menjadi IMMawati adalah tentang kecintaanmu terhadap IMM. Selebihnya, IMMawati adalah sosok yang mau berjuang berfastabiqul khairat di IMM. Selebihnya, IMMawati tetap menjadi pendukung, penengah, peredam amarah, penyumbang ide, dan penyukses setiap kegiatan IMM.
Mari bersama-sama menyelami hadits berikut :
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik baik perhiasan adalah wanita shalihah"
(HR. Muslim no 1467)
Kemudian, bagaimana dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tersebut? Apakah wanita yang kemudian disebut sebaik-baik perhiasan tersebut harus berjuang, berkeringat, dan bersusah payah?
Tak ada yang salah dengan segala perjuangan IMMawati. Sekalipun mencucurkan keringat, sekalipun berpikir keras, selama hal tersebut diniatkan kepada Allah Ta’ala maka _InshaaAllah_ akan bernilai pahala. Sekalipun IMMawati akan bersusah payah nantinya, tak apa. Karena berlian tetaplah berlian, sekalipun tercebur ke kubangan lumpur.
Satu hal yang harus diingat. Bahwasannya terbentuknya berlian tidak sekejap mata terbentuk. Berlian terletak di kedalaman 150 Km di bawah permukaan tanah. Dengan demikian, diketahui bahwa berlian terbentuk dengan tekanan super tinggi yang dihasilkan dari batuan yang ada di atasnya.
Tak berbeda dengan IMMawati. Setelah mendapat gelarnya, maka seorang IMMawati harus siap untuk ditempa dalam organisasi. Berjuang secara fisik dan mental mengucurkan pemikirannya ke IMM untuk menyukseskan trilogi ikatan. Jika IMMawati hanya 'leyeh leyeh’ menunggu dan menguntit di belakang IMMawan, maka bahan batuan yang seharusnya menjadi batu berlian terpaksa harus menjadi batuan beku saja. Bahan batuan yang seharusnya dapat digunakan di perhiasan, maka dengan terpaksa harus menjadi bahan bangunan saja. Aih!
Adalah Sumayyah binti Khayyat, Ibunda Ammar bin Yasir. Beliau adalah golongan pemeluk islam awal sekaligus seorang muslimah yang mati syahid untuk pertama kalinya. Ya, syahidah pertama dalam Islam adalah seorang perempuan.
Keteguhan iman milik Sumayyah yang di akhir hayatnya dipapar di padang pasir menghadap mentari sungguh luar biasa. Bahkan sekalipun suaminya, Yasir, dan anaknya Ammar bin Yasir juga ikut disiksa oleh Abu Jahal. Manisnya iman membuat kematian merupakan hal yang remeh temeh bagi Sumayyah. Pembelaan terhadap Islam adalah hal yang utama yang harus diperjuangkan hingga syahid. Mashaa Allah!
Masih banyak pula pejuang muslimah di zaman Rasulullah yang menyingkirkan stereotip bahwa perempuan cukup menunggu, sedangkan laki-laki harus berjuang. Adalah Nasibah binti Ka’ab (Ummu Umarah) yang merupakan shahabiyah yang paling sering ikut bergerilya di medan perang bersama Rasulullah. Kemampuan Ummu umarah tidak diragukan lagi. Ummu Umarah berpartisipasi dalam peristiwa Baiat Aqabah, Perang Uhud, gencatan senjata di Hudaibiyah, Baiat Ridhwan, Umratul Qadha’, penakhlukan Kota Makkah, Perang Hunain, juga termasuk penumpasan Musailamah al-Kadzdzab. Kecintaannya terhadap Islam membuatnya tak takut terhadap musuh musuh kafir yang tak jarang berjumlah lebih banyak dibanding pasukan muslim.
Dua shahabiyah tersebut cukup untuk mengubah stereotip yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, memperjuangkan Dien Allah adalah suatu keharusan. Terutama di tengah masyarakat yang kini dileburkan dan dinina-bobokan oleh paham liberal. Maka perjuangan untuk menjadi yang terbaik, berfastabiqul khairat, adalah suatu keniscayaan bagi IMMawati. Dengan demikian tali dakwah Muhammadiyah tak akan putus dan terus bersinergi di seluruh jenjang perkaderan, pun tak terbatas gender.
IMMawati bagi penulis adalah proyek dakwah tiada henti yang progressif. Namun, ketika api perjuangan mulai tertiup angin, tangan siapa yang harus menangkupinya dari angin? Ketika Dien kita mulai digoyahkan, maka siapa yang wajib membela dengan penuh keikhlasan? Bukankah kita para IMMawati, yang harus ada di garda terdepan menjunjung agama dan menjaga kehormatan organisasi? Jika memang kita, maka mari terus berjuang untuk mewujudkan Islam yang menggembirakan dan Muslim berkemajuan agar IMMawan tidak merasa sendirian dalam perjuangan.
Rujukan : Ar-Rawi, Umar Ahmad. 2006. Wanita-wanita Sekitar Rasulullah. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Diterjemahkan oleh : Abd. Rosyad Shiddiq.
Penulis : Devi Wulantika
Kader IMM Komisariat Titanium Fak. Ilmu Sosial UMM
0 Komentar